Struktur Industri Elektronika Masih Lemah

Kalau Liga Dunhill menjadi tonggak baru dalam sejarah sepak bola Indonesia, maka Asian Games tahun 1962 telah mendorong lahirnya tonggak baru dalam dunia elektronika. Waktu itu pemerintah menginginkan masyarakat Indonesia menyaksikan pesta olah raga kebanggaan masyarakat Asia tersebut.


Tak kurang dari Alm. M. Thayeb Gobel menyambut keinginan tersebut dengan mulai merakit televisi hitam putih pertama di Indonesia, di samping radio. Kendati hanya dadakan, produksi televisi tersebut telah menandai lahirnya industri elektronik di persada Nusantara. Sebetulnya, sebelum itu sudah ada pabrik radio Phillips di Bandung dan Surabaya. Tapi, kedua pabrik itu merupakan peninggalan Belanda. Kemudian, pabrik radio Phillips di Surabaya berubah menjadi pabrik bohlam. Tahun 1956 Pak Gobel juga sudah mendirikan PT Transistor Radio Mfg. Co. yang memproduksi radio merek Tjawang. Kemudian, di Medan tahun 1962 lahir pula radio merek Nusantara yang diproduksi PT. Nusantara Polar. Sampai tahun 1960-an industri elektronik kita memang masih belum kelihatan atau masih dalam proses menjadi bayi. Yang muncul hanyalah kegiatan reparasi, seperti yang sudah dilakukan Bos Toa Galva, Uripto Wijaya sejak tahun 1950-an. Belum ada aktivitas yang berarti. Produksi televisi yang dilakukan, misalnya, hanya sebatas memenuhi kebutuhan Asian Games. Sesuai dengan kondisi waktu itu, perhatian pemerintah memang hanya tertuju ke sana. Setelah Asian Games belum ada kebijakan lanjutan dari pemerintah. Saat itu semua kebutuhan barang elektronik harus diimpor. Sehingga, tahun 1950-an sudah terbentuk Persatuan Pedagang Radio Indonesia (PPRI). Selain dari hasil produksi Phillips di Bandung dan Surabaya, kebutuhan radio masih diimpor. 

Pemerintah menyadari bahwa kondisi ini tidak menguntungkan. Indonesia harus mengeluarkan devisa begitu banyak untuk mengimpor produk elektronik. Sebetulnya, kondisi ini tidak hanya berkaitan dengan bidang elektronik, tapi juga dengan bidang lain. Sehingga, waktu itu pemerintah mengeluarkan kebijakan substitusi impor.

Melalui kebijakan ini pemerintah berusaha mendorong industri dalam negeri untuk memproduksi barang-barang kebutuhan dalam negeri, menggantikan barang-barang yang diimpor. Demikian juga dengan industri elektronik. Mulai awal tahun 1970 industri elektronik dikembangkan dengan pola substitusi impor sampai pertengahan tahun 1985. Kebijakan pemerintah tersebut disambut baik oleh masyarakat industri elektronik. Puluhan perusahaan bermunculan sejak tahun 1970. Mereka ini boleh dibilang pioner dalam dunia elektronik. 

Dengan rangsangan yang diberikan terhadap PMA (Penanaman Modal Asing), munculah beberapa perusahaan patungan dengan merek-merek terkenal dari Jepang, seperti National dan Sanyo. Juga, beberapa perusahaan dengan merek terkenal dari Eropa, seperti Grundig, Philips, dan ITT. Sampai 1973 saja sudah ada 15 perusahaan aktif, baik sebagai agen tunggal pemegang merek (ATPM) maupun yang memproduksi dengan merek lokal. Perusahaan ATPM, misalnya PT Yasonta yang merakit televisi dengan merek Sharp dari Jepang; PT Sanyo Industries Indonesia yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek Sanyo dari Jepang; PT National Gobel yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek National dari Jepang; PT Asia Electronics Corp. yang merakit radio dan televisi merek Grundig dari Jerman. Sedangkan yang memproduksi merek lokal adalah seperti PT Galindra Electric Ltd. yang juga merakit radio, televisi, tape recorder dengan merek Galindra; PT Telesonic, dan sebagainya. Sampai 1985 jumlah perusahaan elektronik bertambah menjadi sekitar 58 perusahaan dengan berbagai merek produksi. 

Sebagian besar merek asing yang diproduksi di Indonesia berasal dari Jepang. Dari sisi jenis produk juga berkembang. Sampai tahun 1973 produk yang dihasilkan terbatas pada radio, televisi, dan tape recorder. Ada sedikit perusahaan yang merakit beberapa produk alat-alat rumah tangga. Setelah tahun 1973, jenis produknya sudah mulai merambah ke alat-alat listrik rumah tangga. Di samping itu juga muncul sejumlah merek baru. Misalnya, PT Wily Antariksa Electronics yang merakit televisi merek Toshiba; PT Alfa Intone International yang merakit televisi merek ITT dari Jerman; PT Adab Alam Electronics yang merakit amplifier, tape deck speaker system dengan merek Pioner dari Jepang; PT Ben Elektronik Nasional merakit radio merek Belna; PT Duta Nanjak merakit radio dan radio cassette merek Kingsonic; PT. 

Hartono Istana Electronics merakit merek Polytron; PT Scortarius Jaya yang memproduksi merek Video; PT Panggung Elektronik yang memproduksi merek Intel dan sebagainya. Munculnya perusahaan-perusahaan tersebut telah mengurangi ketergantungan kita terhadap barang impor. Untuk memperkuat posisi perusahaan-perusahaan tadi, pemerintah mengeluarkan kebijakan �larangan impor�. Pada awal tahun 1970-an impor televisi dan radio dalam keadaan CBU (Completely Buit Up) dilarang. Dan, di samping itu, ketentuan CKD (Completely Knocked Down) diatur dengan tarif lebih rendah dari part untuk merangsang industri perakitan. Dari sisi struktur produksi, sebetulnya perusahaan-perusahaan elektronik tadi sebagian besar melakukan perakitan dengan sebagian besar komponen diimpor dari luar negeri. Bagi perusahaan ATPM, mereka mengimpor komponennya dari pemilik merek. Produk bermerek lokalpun mendapatkan sebagian besar komponennya dari luar negeri. 

Dengan demikian, industri elektronik kita merupakan industri perakitan yang mempunyai kapabilitas produksi dengan modifikasi sederhana. Hanya beberapa perusahaan yang memiliki kapasitas modifikasi mendasar (major change capability) dan kemampuan rekayasa atau desain. Boleh dikatakan belum ada yang dapat melakukan inovasi atau menjadi trend setter. Industri Komponen Sampai saat ini perusahaan komponen sudah cukup berkembang untuk industri alat-alat listrik rumah tangga. Sedangkan untuk industri consumer electronics hanya beberapa komponen yang sudah dapat diproduksi dalam negeri, seperti suku cadang plastik, metal, dan beberapa komponen pasif. Kandungan lokal produk elektronik dan alat-alat listrik rumah tangga kita masih rendah. Diperkirakan hanya 25-30%. Menurut Data Departemen Perindustrian, di Indonesia terdapat sekitar 60 perusahaan komponen. 

Namun, produksinya masih terbatas pada komponen elektromekanik dan mechanical part, seperti speaker, transformer, heatshink, jointing cable, screw & nuts, flyback transformer, PCB, chasis, cartoon box, casting, cabinet, frame, ornamen, rubber parts, plastics parts, dan sebagainya. Walaupun demikian, belakangan ini industri komponen ini sudah mulai muncul, seperti pabrik CRT oleh PT Tabung Gambar Indonesia dan PT Goldstar Display Devices Indonesia. Demikianpun industri komponen aktif, terutama semiconductor devices dan integrated circuit mulai bangkit. Paling tidak ada tiga perusahaan yang bergerak dalam bidang ini. Kasus Fairchild dan National Semiconductors Tahun 1973 dan 1974 dua perusahaan multinasional AS, Fairchild dan National Semiconductors, membuka pabrik di Indonesia. Waktu itu memang AS sedang melakukan relokasi perakitan semi conductor ke lokasi yang upah buruhnya rendah supaya bisa bersaing dengan Jepang. Keduanya mengekspor produknya 100%. Hasilnya, ekspor elektronik Indonesia tahun 1978 mencapai 15% dari total ekspor manufaktur Indonesia. Tapi, tahun 1985 kedua pabrik itu pindah ke Malaysia. 

Di samping karena permintaan komputer pada pertengahan tahun 1980-an menurun, perpindahan keduanya juga didorong oleh iklim investasi dan usaha dalam negeri yang tidak menunjang. Padahal, tahun 1984 nilai ekspor semiconductor kita sudah mencapai $ 135 juta. Hengkangnya kedua pabrik tersebut merupakan petaka buat industri komponen elektronik kita. Kendati produksinya tidak untuk dipasarkan dalam negeri, keduanya merupakan perintis industri komponen elektronik kita. Dalam rangka memperkuat struktur industri elektronik nasional, pada tahun 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan yang disebut Deletion Program. Program yang berintikan penjadwalan komponen ini bermaksud mengembangkan industri komponen dalam negeri. Karena industri elektronik kita masih sangat tergantung pada industri komponen di negara lain. Dalam kebijakan itu perusahaan elektronik diharapkan mulai berusaha mengembangkan industri komponen untuk kebutuhannya sendiri. Logikanya, kalau komponennya bisa dipenuhi dalam negeri, secara ekonomis value yang diperoleh industri elektronik semakin tinggi. Pada gilirannya, industri elektronika akan semakin berkembang. Ide pemerintah ini tentu sangat bagus. Beberapa perusahaan langsung terangsang untuk membangun pabrik komponen. Misalnya, PT National Gobel yang membuat speaker. Lalu, ada juga perusahaan yang memproduksi mechanical part, trafo, dan kabel. Apa yang terjadi kemudian? Bagaimana dengan perkembangan industri komponen elektronik? Sampai saat ini ketergantungan terhadap komponen impor masih sangat tinggi. Sekitar 80% komponen elektronik kita masih harus diimpor. 

Apalagi, kebijakan penjadwalan komponen tadi tersandung Inpres No. 5 tahun 1985 yang berkaitan dengan deregulasi bidang tata niaga impor demi kelancaran arus barang. Akibatnya, larangan impor tadi sudah tidak berlaku lagi. Menyadari kepincangan dan kerapuhan struktur berkepanjangan ini, pihak Asosiasi Gabungan Elektronika memang sudah mengusulkan perlunya sebuah kawasan industri khusus untuk industri komponen elektronik yang disebut Lingkungan Industri Komponen Elektronika (LIKE). Kawasan ini diharapkan mendapat status EPTE (Entreeport Produk Tujuan Ekspor) plus. Artinya, produksi komponen dan part dari lingkungan ini boleh dipasarkan secara bebas ke dalam negeri maupun ekspor. LIKE ini pula yang dianggap akan memiliki daya tarik besar bagi perusahaan-perusahaan asing yang ingin mengadakan relokasi ke Indonesia. Hasilnya? Kita masih harus menunggu. Langsung Menggenjot Ekspor Babak baru perkembangan industri elektronika dimulai tahun 1985. Diawali dengan berbagai deregulasi yang dilancarkan pemerintah. Para investor dari Jepang, Korea dan Taiwan mulai berdatangan terutama dalam bentuk relokasi. Produk-produk bermerek Korea dan Taiwan seperti Samsung, Goldstar dan sebagainya mulai menghiasi lembaran elektronik kita. Sejak pertengahan tahun 1980-an pemerintah mulai dengan gebrakan deregulasinya untuk menggalakkan ekspor non migas, karena penerimaan dari ekspor migas tidak bisa diandalkan lagi. Deregulasi sektor elektronik dalam Paket Mei 1990 ternyata memacu perkembangan industri elektronik. Dengan deregulasi tersebut, semua barang elektronik dapat diimpor oleh importir umum. Tarif impor untuk produk akhir juga diturunkan dari 20-60% menjadi 20-40%. Juga, tarif terhadap komponen diturunkan menjadi 0-5%. Berkat berbagai deregulasi untuk mendorong ekspor non migas tadi, ekspor elektronik pun mulai meningkat. 

Eskpor dimulai dengan beberapa consumer electronics, seperti radio, tape recorder, dan radio combination yang diproduksi perusahaan patungan. Perusahaan domestik juga mulai mengekspor. Di samping pengaruh deregulasi tadi, perusahaan domestik juga melakukan ekspor karena mulai lesunya pasar domestik pada pertengahan tahun 1980- an. Di samping itu, langkah ini diambil sebagai antisipasi menghadapi persaingan dengan perusahaan di kawasan berikat yang sejak Pakto 1993 boleh memasarkan produknya 25% ke pasar dalam negeri. Sebelumnya mereka hanya boleh memasarkan 15% ke pasar domestik. Pesatnya perkembangan ekspor elektronik mulai terlihat tahun 1991. Saat itu, realisasi ekspor dari perusahaan PMA yang baru dan didirikan untuk orientasi ekspor mulai menunjukkan pengaruh signifikan terhadap ekspor. PMA tersebut datang dalam bentuk relokasi industri. Sebetulnya investasi bermotif relokasi dari perusahaan-perusahaan Jepang, terutama yang bertujuan ekspor, memang sudah mulai nampak sejak tahun 1985. Saat itu terjadi apresiasi mata uang Yen. Tahun 1988, negara-negara industri baru Asia Timur juga mulai gerah dan ingin mengikuti jejak Negeri Sakura merelokasi industrinya. Tapi, realisasi relokasi industri elektronik itu baru terjadi di Indonesia tahun 1991. Padahal, negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan RRC sudah lebih dulu kedatangan tamu relokasi tersebut. Lalu, kenapa kita terlambat? Itulah persoalan kita bersama. Sebetulnya, peristiwa pembantaian korban-korban manusia di Tianiamen oleh kekejaman rejim yang berkuasa di RRC tahun 1989 merupakan kesempatan buat kita merebut peluang relokasi. Tapi, ternyata kita masih harus bekerja keras bersaing dengan RRC agar dilirik para investor asing. Menurut data dari Departemen Perindustrian, pada tahun 1992 ekspor perusahaan PMA mencapai 80% dari total ekspor sektor elektronik nasional. Secara nasional, perekonomian Indonesia memang membaik pada akhir tahun 1980-an. Situasi itu rupanya berdampak pada perkembangan industri elektronika. Apalagi, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang disebut Paket Mei 1990. Melalui kebijakan ini tata niaga impor barang jadi elektronika dicabut dan diganti sistem tarif bea masuk dengan tarif maksimum 40%. Sementara tarif bea masuk komponen diturunkan menjadi 0-5%. Hasil dari recovery ekonomi nasional plus Paket Mei l990 nampak signifikan. Pertumbuhan produksi elektronik l990-l992 mencapai 65% per tahun. Tingkat pertumbuhan l987-l989 baru mencapai 36.4%. Yang tidak berubah adalah pangsa produksi yang masih didominasi consumer electronics. 

Tapi kebijakan ini toh ternyata tidak berdaya terhadap barang elektronik selundupan. Barang selundupan ini masih berseliweran di pasar lokal. Buat konsumen tidak jadi masalah, karena barang selundupan tersebut dijual dengan harga murah. Tapi, bagi industri elektronik lokal, produk haram tersebut justru merupakan pesaing berat. Bahkan, produk lokal kalah bersaing. Apalagi setelah diberlakunya PPn BM (Pajak Penjualan Barang Mewah) yang dikenakan atas produk elektronik. Kebijakan itu mengakibatkan harga produk terpaksa harus dinaikkan 10-30%. Di samping itu, ada perbedaan perlakuan antara produsen dengan importir produk elektronik. Produsen harus membayar PPn BM 10-30% ditambah PPN 10%, sedangkan importir tidak perlu membayar. Di lain pihak, pertumbuhan tinggi yang terjadi sejak tahun 1991 juga disebabkan peningkatan permintaan pasar internasional yang dapat dilihat dari peningkatan nilai ekspor yang cukup tinggi. Tahun 1987, nilai ekspor hanya mencapai US$ 59 juta, sedangkan tahun 1992 melonjak menjadi US$ 865 juta dan tahun 1993 menjadi US$ 1,2 miliar. Perkembangan yang demikian, didukung oleh prospek pengembangan yang dimiliki telah membuka mata pemerintah untuk menetapkan sektor elektronika ini sebagai salah satu dari enam industri andalan ekspor nasional. Keenam industri ini ditargetkan memasukkan devisa sebanyak US$ 47 miliar atau 85% dari target nilai ekspor nasional sebesar US$ 55 miliar per tahun pada akhir Pelita VI. Dari target tersebut industri elektronik diharapkan menyumbang sekitar US$ 5,5 miliar per tahun. Tahun 1994, nilai ekspor industri elektronika mencapai sekitar US$ 2,2 miliar. 

Dengan nilai ekspor seperti ini dan perkembangan tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan target tersebut dapat dicapai dengan mudah. Masalahnya, apakah kita mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan 30% per tahun? Banyak kalangan berpendapat, kalau struktur industri elektronika tidak segera diperbaiki, artinya industri komponen dan bagian-bagian tidak bertumbuh, maka mustahil mempertahankan tingkat pertumbuhan cukup tinggi untuk masa depan. Lebih dari itu, investor asing yang selama ini menjadi pilar utama ekspor elektronika Indonesia, dapat beralih ke RRC atau India yang diperkirakan 2-3 tahun lagi akan lepas dari kendala struktur yang masih disandang Indonesia sejauh ini. Kondisi lain yang juga parah adalah mengharapkan impor komponen dari negara tetangga. Justru karena keuntungan terbesar bukan berasal dari produk akhir tetapi dari komponen dan bagian-bagian itu. Waktu terus berganti dan segalanya telah berubah. Tetapi destinasi utama ekspor elektronik kita secara total tidak banyak berubah. Masih didominasi AS dan Singapura sebagai pasar utama. 

Sebagai catatan, besarnya ekspor ke Singapura disebabkan posisi negara tersebut sebagai entreport. Kalau dibagi per wilayah, ekspor elektronik kita didominasi oleh pasar Asia Timur. Ekspor ke Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) menunjukkan kecenderungan meningkat. Misalnya, tahun 1989 ekspor elektronik ke MEE mencapai 16% dari total, sedangkan tahun 1992 sudah meningkat menjadi 28%. Angka ekspor yang meningkat ini ternyata belum dapat membuat kita berbangga. Dibandingkan dengan negara ASEAN lain, angka ekspor kita ternyata masih kecil. Data tahun 1994 menunjukkan bahwa nilai ekspor elektronik Malaysia mencapai sekitar US$ 18 miliar, Singapura sebesar US$ 30 miliar, Thailand mencapai US$ 8,5 miliar. Sementara Filipina sudah mampu mendapat US$ 2,5 miliar dari ekspor elektroniknya tahun 1993. Walaupun demikian, dunia elektronika kita semakin marak setelah dibukanya keran PMA 100% melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1993. Kini ruang gerak mereka lebih leluasa. Persyaratan yang mengharuskan mereka mencari partner lokal tidak menjadi kendala lagi. Hasilnya mulai kelihatan. Beberapa merek terkenal yang dahulu dikembangkan melalui perusahaan patungan di Indonesia, kini pihak prinsipalnya mulai beroperasi dengan status PMA murni. Lalu, bagaimana nasib perusahaan elektronik nasional yang dulu tumbuh mekar tahun 1970-an? Ternyata beberapa di antaranya sudah tidak bernafas alias cerobongnya tidak berasap lagi. Sementara yang lain masih hidup di tengah gelombang persaingan yang sangat ketat. Bagaimanapun, merekalah perintis industri elektronik di bumi pertiwi ini. 
 Sumber: Gabungan Elektronika Indonesia.

Teknik Elektronika dan Radio Komunikasi

Iklan feed

Populer

Cara Mengukur Trafo dengan Multitester Analog / Digital

Rangkaian Lampu TL Tanpa Trafo Ballast

Apa Itu Ballast Lampu, Fungsi dan Tipenya